Liputan6.com, New York : Bagi sebagian akademisi, istilah 'troubled currency' bisa jadi merupakan istilah seni. Namun bagi orang yang tengah mengalami gangguan ekonomi, 'troubled currency' merupakan mata uang yang anjlok nilai tukarnya akibat terpaan tingkat inflasi yang tinggi.
BERITA TERKAIT
Seperti dilansir dari Business Insider, Senin (29/7/2013), nilai mata uang rendah membuat kepercayaan diri penggunanya menghilang. Saat daya belinya berkurang, seringkali para pengguna mata uang tersebut mencoba menekannya guna mendapatkan nilai tukar asing yang stabil. Saat permintaan mata uang menguap, maka nilai tukarnya terhadap asing pun melemah dan harga kebutuhan sehari-hari melonjak.
Seiring berkembangnya proses ini, ekspektasi kemampuan mata uang untuk mempertahankan daya belinya memburuk dan terjebak pada pergerakan ekonomi yang salah. Pada kondisi ekstrem, pergerakan ekonomi tersebut bisa berarti hiperinflasi dimana nilai inflasi berada di atas 50% per bulan. Kasus ini memang jarang terjadi, tapi hingga saat ini sedikitnya terdapat 56 kasus hiperinflasi.
Mata uang yang pernah bermasalah dalam sejarah - Rupiah Indonesia
Krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an melahirkan banyak mata uang bermasalah. Rupiah Indonesia merupakan salah satu uang yang masuk ke dalam lingkaran tersebut. Pada 14 Agustus 1997, setelah mata uang baht dari Thailand mengalami kehancuran, nilai rupiah turun drastis. Hal tersebut membuat Indonesia bergantung pada dana pinjaman Internasional Monetary Fund (IMF).
Berbeda dengan prediksi IMF, nilai rupiah tidak membaik. Nilainya justru melemah parah dari 2.700 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 16.000 pada waktu itu. Indonesia pun terjebak dalam pusaran krisis Asia saat itu.
Pada akhir Januari 1998, Presiden Soeharto menyadari bantuan IMF yang tak berguna dan menggunakan rencana kedua. Dalam agenda perubahan penanganan krisis tersebut, rupiah menguat 28% terahadap dolar AS.
Kasus yang terjadi di Indonesia terhitung unik, rupiah diperdagangkan bebas di pasar bursa asing dengan tingkat nilai tukar yang menguat. Terlebih maasalah nilai tukar mata uang yang muncul di bawah sistem moneter yang membatasi konvertibilitas mata uangnya.
Lingkungan ekonomi ini memberikan peluang bagi pasar gelap untuk menukar mata uang asing, dimana mata uang dalam negeri yang diperdagangkan bebas akan menentukan nilai tukarnya.
Ditambah lagi, pemerintah Soeharto yang terus mempublikasikan data ekonomi setelah rupiah mengalami pelemahan akibat inflasi. Di kebanyakan negara dengan mata uang yang melemah, kasus serupa tak terjadi. Memang benar, sejumlah rezim di berbagai negara yang menderita inflasi terkenal menyembunyikan fakta terkait inflasi yang dialaminya. Seringkali pemerintah membuat data inflasi sendiri guna menyembunyikan masalah ekonomi yang dialaminya.
Nilai tukar mata uang merupakan salah satu solusi masalah ini, Jika tersedia data nilai tukar mata uang di pasar bebas, maka nilai inflasi dapat diprediksi. Prinsip paritas daya beli (the principle of purchasing power parity/PPP) berubah tergantung nilai tukar mata uang dan perubahan harga. Maka untuk menghitung nilai inflasi di negara-negara yang mengalami pelemahan nilai mata uang memnutuhkan teori ekonomi selama puluhan tahun yang telah teruji.
Indonesia merupakan salah satu mata uang yang melemah akibat inflasi dan telah menjadi bagian dari sejarah. Sementara itu, masih ada enam negara yang saat ini tengah mengalami kehancuran nilai mata uangnya.
Berikut keenam negara dengan mata uang yang tak tahan akan peningkatan angka inflasi tersebut:
1. Iran
Gagasan untuk menjalankan Troubled Currencies Project muncul di tengah krisis inflasi Iran pada 2012. Pelemahan nilai tukar rial, Iran, merupakan akibat dari beratnya sanksi pihak barat (Western)pada 2010. Nilai tukar resmi rial terhadap dolar saat itu berbeda sangat tipis dengan nilai tukar di pasar gelap. Sejak menerima dampak dari sanksi tersebut, perbedaan nilai tukarnya terlihat menguat.
Iran sempat mengalami penurunan permintaan mata uang terparah di awal September 2012 dan yang kedua terjadi di pertengahan Oktober, saat nilai inflasinya mencapai level hiperinflasi (lebih besar 50% per bulan).Dengan runtuhnya nilai rial, terjadi juga peningkatan di pasar gelap.
Namun sejak itu, rial mulai stabil, meski nilai inflasinya masih meingkat. Nilai inflasi tahunan Iran berada di level 74,2%.
2. Korea Utara
Selama bertahun-tahun nilai tukar won terhadap dolar tak banyak berubah. Hal tersebut menunjukkan kontrak devisa dan sejumlah peraturan terkait serta sanksi-sanksi keras terlah membuat nilai won melemah. Hal ini merupakan hal yang sehat bagi pasar gelap.
Disfungsi moneter Korea Utara didampingi masalah inflasi parah. Pada 2009, pemerintahnya mencoba mengatasi masalah tersebut dengan menerapkan program reformasi mata uang seperti program redemonasi yang akan memangkas dua digit pada nominal won saat ini.
Korea Utara diberikan setidaknya kurang dari dua minggu untuk menukar seluruh mata uangnya ke dalam pecahan baru.Maka pemerintah membatasi kuantitas jumlah won lama yang bisa ditukar dengan yang baru. Bagi para penduduk Korea Utara yang menyimpan terlalu banyak mata uang, program redenominasi merupakan program pemungutan pajak kekayaan secara efektif.
Kenyataannya, agak mengejutkan saat reformasi mata uang menyebarkan kepanikan di kalangan primitif Korea Utara, serta pasar-pasar barang dan jasa. Dengan reformasi mata uang, permintaan mata uang asing dapat diakselerasi sesuai dengan kebutuhan di pasar yang traansaksinya dilakukan dengan uang tunai. Akibatnya, nilai won anjlok akibat pasar perdagangan gelap mata uang.
Jadi apa yang terjadi pada tingkatan harga di Korea Utara secara keseluruhan pasca reformasi? Data nilai tukar mata uang pasar gelam memungkinkan munculnya prediksi nilai inflasi yang tepat.Seperti kepanikan pada 2009 memicu lonjakan inflasi di Korea Utara.
3. Argentina
Argentina sekali lagi bergulat dengan musuh lamanya, inflasi. Saat ini tampaknya sejarah inflasi di negara tersebut akan muncul kembali mengingat Argentina tengah goyah akibat krisis mata uang berbeda. Kendali modal dan neraca transaski yang tak seimbang ditambah sejumlah kebijakan anti bisnis berakibat pada penekanan mata uang Argentina, peso.
Belakangan ini, dalam pasar perdagangan gelap nilai tukar peso terhadap dolar tercatat sebesar 8,2, nilainya 34% lebih rendah dibanding nilai tukar resmi. Jumlah ini mengakibatkan nilai inflasi tahunan sebesar 24,8%.
Untuk saat ini, dampak dari meningkatnya nilai inflasi secara resmi disembunyikan oleh rezim price control (pengendalian harga) secara besar-besaran di Argentina. Pengendalian harga merupakan ketentuan pemerintah mengenai penetapan harga tertinggi suatu barang atau jasa untuk mencegah kenaikan harga barang atau jasa tersebut.
Namun langkah tersebut tak bisa bertahan dalam waktu lama. Pengendalian harga dalam jangka pendek ini hanya akan mendistorsi realitas ekonomi yang menyebabkan kelangkaan mata uang.
4. Venezuela
Venezuela juga bergantung pada pengendalian gina menekan masalah inflasinya, hasilnya pun sama menyedihkannya. Meski berperan sebagai negara kaya minyak, program belanja sosial di masa Chavez secara besar-besaran terus mengganggu keseimbangan ekonomi pemerintah, termasuk juga pendapatan dalam bentuk dolar terdenominasi di perusahaan minyak negara, PDVSA. Untuk mengisi kekosongan ini, bank sentral Venezuela telah menjalankan peningkatan nilai mata uang, mengurangi nominal mata uangnya, bolivar.
Langkah ini menyebabkan lonjakan inflasi, di negara yang sudah tak kaget lagi dengan tingkat inflasi tinggi. Nilai tukar bolivar terhadap dolar di pasar perdagangan mata uang gelap bernilai 34,42, membuat selisish 80,6% dengan nilai tukar resminya. Hal ini membuat tingkat inflasi tahunannya sebesar 249,3%.
5. Mesir
Di bawah pemerintah President Mursi dan sistem syariah, kondisi ekonomi di Mesir terus memburuk. Pengendalian modal dan harga telah menyebabkan kelangkaan dan penurunan nilai mata uang Mesir, pound. Akibanya para penduduk Mesir menyaksiskan inflasi mengacaukan standar biaya hidupnya. Pengendalian tersebut menyebabkan kelangkaan mata uang asing dan banyak barang lain seperti bensin. Dalam menghadapi kebijakan syariah yang keliru, statistik harga dan inflasi resmi semakin jauh dari realias. Selain itu pasar gelap menjadi sumber dukungan materi yang tak bisa disediakan pemerintah.
Kisah gagalnya ekonomi Mesir merupakan mata uang yang bermasalah dan masalah inflasi yang terjadi bersamaan. Pada 1 Juli 2013 (sebelum Mursi lengser), tingkat inflasi tahunan di Mesir sebesar 27,1%. Jumlah tersebut tiga kali lebih tinggi dibanding tingkat inflasi tahunan yang dilaporkan pemerintah sebelumnya.
6. Suriah
Perang sipil dan sanski ekonomi telah menghancurkan perekonomian negara. Dala upayanya mengalahkan sanksi-sanksi barat dan menyelamatkan mata uangnya, rezim Assad, dengan bantuan Iran, Rusia, dan China, mulai menjalankan seluruh bisnisnya menggunakan, rial, ruble dan renminbi.
Keputusan ini melengkapi pernjanjian sebelumnya antara Suriah dan sekutunya yang berusaha menjaga ekonomi Suriah khususnya dalam kebutuhan hidup sehari-hari. Langkah ini juga mencakup pengiriman uang sejumlah US$ 500 juta per bulan dalam bentuk minyak dan arus kredit tak terbatas dengan Tehran untuk impor produk minyak dan makanan.
Menurut Perdana Menteri Suriah, Kadri Jamil mengungkapkan, dukungan pasokan kebutuhan sehari-hari tersebut penting karena ekonomi negara tersebut tengah hancur. Kekacauan ekonomi tersebut akibat upaya AS dan Inggris untuk menenggelamkan pound Suriah.
Dalam keputusasaan, upaya yang keliru untuk menyelamatkan mata uangnya yang terkena imbas inflasi, rezim Assad mengenakan penalti keras untuk perdagangan mata uang di pasar gelap. Strategi ini terbukti gagal dan dimanfaatkan oleh Iran pada Oktober 2012.
Dengan kondisi ekonomi seperti itu, nilai inflasinya diprediksi mencapai 29,1%.
Saat ini Suriah tengah mengalami tingkat inflasi sebesar 68% per bulan. Artinya negara ini telah melebihi standar (nilai inflasi 50% per bulan) dan mengalami hyper inflasi. Hingga saat ini tak ada kepastian nilai mata uang Suriah bisa kembali membaik
0 komentar:
Posting Komentar